Selasa, 5/10/2010 | 16:26 WIB
KOMPAS.com — Inovasi dan kreativitas menjadi
modal penting dalam membangun kewirausahaan. Selain itu, juga ketahanan
mental yang membuat wirausahawan bertahan dalam berbagai kondisi
usahanya.
Generasi wirausaha yang kreatif dan berani tampil dengan brand inovatif akan dimiliki Indonesia, jika wirausaha ditanamkan pada anak usia 0-7 tahun.
"Entrepreneurship perlu masuk dalam kurikulum seperti yang dilakukan sekolah internasional yang ada di Indonesia. Program business day
di sekolah internasional ini mengajarkan anak untuk kreatif. Anak
berpikir mengenai apa yang mau dijual. Hal kecil seperti ini melatih
anak untuk berpikir kreatif dan berinovasi," jelas pengamat ekonomi,
Aviliani, saat peluncuran program reality show kompetisi wirausaha Diplomat Success Challenge, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pengetahuan
yang didapat pada usia ini akan diterima anak 80 persen. Jika sudah
melebihi usia tujuh tahun, yang diandalkan hanyalah bakatnya, tambah
Aviliani. Wirausahawan yang sukses dilatari oleh sikap mental,
kreativitas, dan inovasi yang telah terlatih sejak kecil.
Siapa
pun bisa menjadi wirausahawan, tetapi tingkat keberhasilannya
dipengaruhi daya inovasi dan kreasi dalam diri. Seperti karyawan yang
ingin beralih profesi menjadi pebisnis contohnya, hal ini mungkin saja.
Namun, kata Aviliani, mereka cenderung memilih usaha yang mudah seperti franchise dan cenderung memiliki kreativitas rendah.
"Karyawan
bisa saja beralih menjadi wirausaha, namun kecenderungan cara
berpikirnya adalah daripada uang ditabung, lebih baik berbisnis dengan franchise. Kreativitasnya rendah. Karenanya, orang Indonesia lebih suka franchise daripada membangun brand baru," lanjutnya.
Melibatkan
anak dalam kegiatan bisnis orangtuanya juga menjadi cara melatih
kewirausahaan. Anak akan merekam perilaku orangtuanya saat menjalani
usaha. Pengalaman inilah yang akan melekat dalam dirinya.
"Orang
Indonesia cenderung meminta anak fokus ke sekolah saja
setinggi-tingginya, sementara orangtua menjalani berbisnis. Saat anak
harus menggantikan bisnis orangtuanya, yang terjadi adalah usaha tak
berhasil karena anak tidak tahu cara berjualan atau menghadapi
konsumen," jelas Aviliani.
Jika saja anak dibolehkan terlibat
dalam aktivitas bisnis orangtuanya sejak kecil, maka sikap mentalnya
akan terbangun. Anak mampu menjalani bisnis orangtuanya saat dewasa
karena tak gengsi dan mau bekerja keras, seperti orangtua yang membangun
bisnis dari nol.
|